Faktanatuna.id, NASIONAL – Hendrik Kawilarang Luntungan, CEO PT Inerco Global International, secara terbuka mengkritik fokus pemerintah yang dinilai terlalu menekankan penarikan investor asing. Menurutnya, langkah strategis yang seharusnya diambil oleh pemerintah adalah menciptakan Pengusaha Manufaktur Lokal di sektor industri dalam negeri. Hendrik menekankan pentingnya hal ini untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang dinilai stagnan di angka 5%.
Hendrik berpendapat bahwa Indonesia sangat membutuhkan lahirnya konglomerasi-konglomerasi baru. Konglomerasi baru ini harus berada di luar entitas bisnis yang sudah ada saat ini. Ia menyoroti fenomena di mana investasi besar, seperti pembangunan mal, hotel, atau real estate baru, selalu didominasi oleh pelaku bisnis yang sama.
Ia merujuk pada kesuksesan negara-negara industri besar. Contohnya adalah China, Jepang, dan Korea. Di negara-negara tersebut, pemerintah secara langsung membimbing pengusaha baru agar sesuai dengan target pembangunan negara industri. Hal ini menunjukkan bahwa peran aktif pemerintah dalam mencetak Pengusaha Manufaktur Lokal adalah kunci kemajuan ekonomi.
Revolusi Kebijakan Kredit Perbankan Jadi Kunci Pembangunan
Akar masalah utama, menurut Hendrik, terletak pada sistem penyaluran kredit perbankan, khususnya bank-bank besar. Ia menyatakan bahwa kredit lebih sering disalurkan kepada pengusaha besar atau “titipan politisi.” Kebijakan ini menyebabkan ketidakmerataan dan menghambat lahirnya pengusaha baru. Kebijakan kredit ini dinilai membuat “orang kaya makin kaya,” sementara kelas menengah akan kesulitan untuk naik kelas dan mengembangkan bisnisnya.
Hendrik mendesak perbankan, terutama Bank BUMN, untuk segera melakukan Revolusi Kredit Bank BUMN. Saat ini, perbankan cenderung menjadikan kolateral (aset jaminan) sebagai fokus utama daripada kelayakan proyek itu sendiri. Kebijakan ini menguntungkan pengusaha yang sudah mapan dan mempersulit pelaku usaha menengah untuk berkembang, mengubah peran bank menjadi seperti “pegadaian.”
Bank BUMN seharusnya kembali pada visi awalnya sebagai agen pembangunan dan tidak hanya berorientasi pada profit semata. Hendrik memahami adanya trauma krisis 1998, namun prinsip kehati-hatian harus tetap seimbang dengan visi pembangunan. Terkait investasi asing, ia juga mengusulkan regulasi yang lebih ketat. Regulasi ini penting untuk menutup celah nominee lokal yang kerap digunakan untuk mengakali aturan kepemilikan, memastikan investasi benar-benar membawa manfaat bagi Pengusaha Manufaktur Lokal.
(*Drw)












