Faktanatuna.id, KALBAR – Pasca Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Pontianak, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang menyeret mantan Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan, dan Uray Wisata (mantan Direktur PDAM Kubu Raya), secara tegas dibatalkan.
Putusan pengadilan ini memulihkan kembali status tersangka dan memerintahkan penyidikan dilanjutkan. Namun, di sisi lain, klaim sepihak terlapor yang bersikukuh bahwa permasalahan telah tuntas damai justru menjadi sorotan utama, memicu diskursus mengenai otoritas penyelesaian perkara di luar koridor korban yang sah.
Alih-alih merespons putusan yang secara hukum mengikat untuk melanjutkan penyidikan, Muda Mahendrawan justru fokus mengklarifikasi bahwa masalah tersebut sudah selesai secara damai di luar jalur pengadilan. Kasus Muda Mahendrawan kini kembali dibuka.
Fokus Putusan: Restorative Justice Dinilai Cacat Formil
Putusan Praperadilan yang dikabulkan pada Senin (17/11/2025) secara fundamental menyerang dasar penerbitan SP3 Polda Kalbar, yaitu mekanisme Restorative Justice (RJ).
Pengadilan menerima dalil pemohon (pihak Korban) bahwa perdamaian yang dicapai antara Terlapor (Muda dan Uray) dengan Iwan Darmawan adalah cacat formil. Iwan Darmawan saat itu hanya berstatus sebagai karyawan (staf) di CV SWAN dan diberi kuasa hanya untuk melaporkan, bukan menyelesaikan perkara.
Artinya, meskipun Polda menggunakan perdamaian sebagai dasar penghentian kasus, proses tersebut dinilai tidak sah. Hal ini karena proses damai dilakukan sepihak dan tidak melibatkan pihak yang memiliki otoritas sah untuk menyepakati perdamaian dan pemulihan hak kerugian, yaitu Korban sebenarnya (Natalria). Praperadilan Batalkan SP3 ini menjadi penegasan otoritas hukum.
Klarifikasi Terlapor dan Bantahan Kuasa Hukum
Muda Mahendrawan akhirnya angkat bicara, memberikan klarifikasi melalui pihak yang mengaku representatifnya pada Sabtu (22/11/2025). “Intinya masalah ini sudah selesai dengan kesepakatan damai, dan masalah substansinya sudah diselesaikan secara damai dengan pihak pelapor resmi (Iwan Darmawan). Laporannya di Polda (Kalbar) juga sudah terpenuhi, yang kemudian dibuat kesepakatan damai dan pencabutan laporan oleh pelapor resmi,” ujar Muda Mahendrawan.
Klarifikasi ini seolah-olah mengesampingkan fakta bahwa Pengadilan Negeri Pontianak telah membatalkan SP3 yang didasarkan pada perdamaian tersebut.
Zahid Johar Awal, Kuasa Hukum Korban, menanggapi klaim tersebut dengan tegas. Ia menyatakan bahwa klarifikasi Muda Mahendrawan tidak sejalan dengan fakta hukum. “Mereka jangan memberikan klarifikasi yang berputar-putar, bukan kata saya, tapi kata putusan pengadilan kok bahwa RJ yang mereka lakukan itu tidak sah dan cacat hukum,” ujar Zahid.
Zahid membeberkan bahwa substansi RJ adalah mengganti kerugian korban. Namun, pihak Terlapor terbukti memanipulasi proses penggantian tersebut dengan Iwan setelah tawaran damai kepada kliennya (Korban sebenarnya) ditolak.
“Dan kami sudah membuktikannya melalui Putusan Pra Peradilan bahwa memang RJ mereka tidak sah karena tidak dilakukan dengan Klien kami,” tutupnya.
Putusan Praperadilan Batalkan SP3 ini menjadi penegasan bahwa dalam hukum pidana Indonesia, otoritas untuk mencabut laporan atau berdamai harus dimiliki oleh Korban yang sebenarnya dan/atau pihak yang mengalami kerugian. Polda Kalbar kini wajib melaksanakan putusan pengadilan, yaitu melanjutkan kembali penyidikan dan memproses status tersangka Muda Mahendrawan dan Uray Wisata.
(*Drw)










