Kontradiktif! Regulasi Tambang Rakyat ESDM Dinilai Cekik Modal dan Hambat Visi Presiden Prabowo

Kritik Permen ESDM 18/2025: Hambat Tambang Rakyat Legal
Presiden Prabowo saat menghadiri Musyawarah Nasional (Munas) ke-VI Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (29/9/2025)/Foto: Detik.

Faktanatuna.id, NASIONAL – Di tengah semangat Presiden Prabowo Subianto untuk menjadikan tambang rakyat sebagai instrumen pemerataan ekonomi, muncul kritik tajam terhadap regulasi teknis yang dikeluarkan Kementerian ESDM. Permen ESDM 18/2025 dinilai kontradiktif dengan visi Presiden karena menetapkan syarat yang sangat berat bagi penambang kecil dan koperasi rakyat.

Alih-alih mempermudah rakyat untuk beralih dari tambang ilegal ke legal, aturan ini justru mempersempit ruang gerak mereka. Wilayah Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dibatasi hanya 5 hektare untuk perorangan dan 10 hektare untuk koperasi. Luasan ini dianggap tidak ekonomis jika dibandingkan dengan beban biaya operasional yang harus ditanggung.

Beban Finansial yang Mencekik Penambang Kecil

Poin yang paling memberatkan dalam Permen ESDM 18/2025 tersebut adalah kewajiban penyetoran jaminan reklamasi. Aturan ini mewajibkan penambang menyetor jaminan reklamasi sebesar 10 persen dari penjualan mineral di muka.

Aturan ini dinilai tidak realistis bagi skala usaha mikro karena menggerus modal kerja secara signifikan. Selain itu, pencairan dana jaminan tersebut menuntut prosedur teknis yang rumit, yang seringkali melampaui kapasitas teknologi dan manajerial penambang rakyat tradisional.

Bayang-bayang Kriminalisasi dan Praktik Ilegal

Selain beban biaya, para pemegang IPR juga dihantui oleh risiko hukum. Regulasi Tambang Rakyat ini mengatur bahwa pelanggaran teknis sedikit saja, seperti kesalahan batas koordinat, dapat berujung pada pencabutan izin dan sanksi pidana administratif. Hal ini menyebabkan risiko kerugian total, di mana izin usaha hilang tanpa menghapus kewajiban finansial yang tertunggak.

Kondisi ini dikhawatirkan akan membuat penambang rakyat enggan mengurus izin. Mereka justru terdorong untuk kembali ke praktik ilegal, menjauhkan realisasi visi Presiden tentang kemandirian ekonomi rakyat.

(*Drw)