Faktanatuna.id, NASIONAL – Di tengah panggung politik nasional yang riuh rendah oleh klaim dan debat publik mengenai utang proyek strategis Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh), satu sikap berbeda justru menarik perhatian. Saat banyak tokoh berlomba tampil di media, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memilih untuk tidak banyak bicara. Diamnya ini memicu beragam interpretasi di ruang publik.
Bagi sebagian kalangan, ketidakhadiran Purbaya di podium diskusi dianggap sebagai bentuk menghindar. Namun, di sisi lain, sikap ini dibaca sebagai pernyataan yang jauh lebih jujur dan mendalam. Dalam lanskap politik yang kini lebih mirip arena penampilan, langkah Purbaya menepi dari sorotan dinilai sebagai bentuk penghormatan.
Menghormati Kegelisahan Publik
Sikap Purbaya Yudhi Sadewa Soal Whoosh ditafsirkan sebagai tanda hormat terhadap kesadaran dan kegelisahan publik. Ketika rakyat sedang menahan napas di tengah beban ekonomi dan menyoroti angka-angka utang yang fantastis, Purbaya seolah memilih untuk tidak menambah kebisingan atau drama politik.
Ia dinilai tidak ingin menari di atas penderitaan rakyat atau menambah simbol palsu di saat banyak orang lelah dengan pesta pora di tengah krisis. Ini adalah pilihan sadar untuk tidak menggunakan isu sensitif demi memoles citra, sebuah langkah yang jarang diambil pejabat publik di era elektabilitas menjadi kompas utama.
Integritas di Atas Popularitas
Dalam politik modern, popularitas di media dan angka survei seringkali menjadi tujuan. Namun, Purbaya dinilai memilih jalan berbeda, yakni menjaga martabat sebagai pelayan publik. Integritas Pejabat Publik menjadi prioritasnya. Ia seolah ingin menunjukkan bahwa politik seharusnya tentang keberanian menjaga kejujuran, bukan adu cepat tampil di layar kaca.
Meskipun Sikap Purbaya Yudhi Sadewa Soal Whoosh yang memilih diam ini mungkin tidak viral atau berisiko menurunkan elektabilitas jangka pendek, sejarah pada akhirnya mencatat sikap dan integritas. Purbaya mungkin tidak sedang melawan siapa pun; ia hanya berusaha menjaga agar akal sehat dan nurani tetap memiliki tempat di republik ini.
(*Drw)












