Faktanatuna.id, NATUNA – Pertambangan ilegal kerap menimbulkan kerugian negara yang masif, terutama jika ada keterlibatan pejabat publik.
Secara hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki wewenang untuk mengambil alih penanganan kasus tambang ilegal apabila ditemukan unsur korupsi seperti suap, gratifikasi, atau penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara.
Namun, KPK bukan lembaga penegak hukum utama untuk kasus tambang ilegal; ranah utama tetap berada di Kepolisian, Kejaksaan, serta instansi teknis seperti Kementerian ESDM dan KLHK.
Pada umumnya, KPK akan turun tangan jika terdapat indikasi suap atau gratifikasi kepada pejabat agar tambang ilegal dibiarkan beroperasi.
Misalnya, adanya aliran dana kepada kepala daerah atau aparat agar tidak menindak lokasi tambang tanpa izin.
Selain itu, penyalahgunaan wewenang yang sistemik—seperti pejabat ESDM atau unsur penegak hukum yang melindungi pelaku tambang ilegal—juga menjadi alasan kuat KPK mengambil alih penyidikan.
Baca Juga: Jokowi Datangi Polda Metro Jaya untuk Laporkan Tuduhan Ijazah Palsu
Walaupun memiliki kewenangan korupsi, KPK hanya masuk jika kasus berkaitan dengan pejabat negara atau penyelenggara negara dan ada laporan indikasi korupsi besar.
Penanganan awal tetap dilakukan Kepolisian untuk tindak pidana lingkungan dan Kejaksaan untuk penuntutan.
KPK dapat berkoordinasi dan memberi supervisi apabila instansi lain terlihat mandek dalam penanganan, seperti kasus tambang emas ilegal di Sekotong, Lombok Barat.
Di sana, KPK pernah mewacanakan pengambilalihan kasus ketika proses di Balai Gakkum KLHK dan Polres setempat dianggap belum memadai.
Pada dasarnya, langkah KPK masuk ke ranah tambang ilegal bertujuan memastikan kesinambungan penegakan hukum dan mencegah kerugian negara akibat permainan korupsi.
Selalu pastikan laporan atau pengaduan menyertakan bukti awal indikasi korupsi agar proses supervisi maupun pengambilalihan penyidikan oleh KPK bisa segera dijalankan.[dit]